Saturday, March 31, 2007
Sang RUBAH ( 2nd part)
Oleh
Sasha Budihardjo
Dinna Budihardjo
Anne Ahira
Anne Ahira
Burn The Fat Feed The Muscle
Ceritaonlineku.com
Si mata hijau tersenyum tipis di balik pullovernya. Entah kulitnya yang menjadi lebih pucat atau ada kekuatan dari dalam dirinya yang merubah, sekejap hijau matanya terlihat lebih gelap seperti batu jade asahan. Dia menegakkan dirinya dengan gerakan tegas seperti sentakan kecil, melemparkan begitu saja koran yang tadi dipegangnya. Jatuh ke semenan trotoir yang lembab. Dia bergerak meninggalkan stand koran itu menuju ke hotel. Tidak lagi tampak tak berdaya. Cepat dan pasti.
Waktu seperti terdengar dalam detikan keras yang seirama dengan langkah-langkah lebar kakinya. Konvoi enampuluh meter dari gerbang hotel. Begitu pula dia...limapuluh....Dalam kecepatan mendekat yang sama. Mereka seperti mengejar waktu untuk bertemu persis di depan gerbang hotel. Empatpuluh....
Penjual koran yang tadi tepekur seperti orang yang pasrah pada keadaan, tiba-tiba bangkit dengan gerakan ringan. Mengikuti beberapa meter di belakang si pria muda berperawakan sedang yang tadi mampir di kiosnya. Si pemberi isyarat. Si pemimpin. Bukan hanya dia yang mengikuti. Juga seorang gelandangan dengan mantel lusuh panjang di seberang, yang dengan cepat melintasi jalan dan bergabung. Dan seorang lagi yang entah darimana munculnya. Dan seorang lagi. Mereka semua bergerak menuju titik yang sama. Menyongsong rombongan itu. Kian dekat, kian dekat.
Bersamaan dengan si mata hijau itu menarik penutup kepalanya turun menjadi topeng kain yang menutupi seluruh wajahnya kecuali kedua matanya yang tampak dibalik lubang, mereka yang mengikutinya melakukan hal yang sama. Langkah-langkah lebar mereka tidak berkurang kecepatannya. Polisi bermotor yang terdepan menangkap gerakan lima orang bertopeng itu yang langsung memicu kesadarannya seketika. Bahaya !
Lima, empat, tiga, dua......
Polisi itu mengangkat sebelah tangannya, bermaksud menghentikan konvoi, ia membuka mulutnya untuk memperingatkan, tetapi...
Boom !! Sebuah ledakan keras mengguncang. Motor-motor patroli terdepan oleng lalu ambruk setelah saling bersenggolan. Para pengawal itu dikejutkan oleh hentakan gempa yang tercipta. Limusin dihentikan, agak menyerong ditengah jalan. Suara jeritan dan debu hancuran menyembur keluar dari dalam ruang meeting di bagian dalam hotel. Semburan asap dan debu membuat lobby hotel seakan berkabut. Kelabu. Pers dan orang-orang di lobby berhamburan. Berlarian keluar hotel. Menyebar ke jalanan. Konvoi yang datang menjadi kacau. Meskipun para pengawal segera menguasai diri dan bergerak ke dekat limusin. Mewaspadai kehadiran orang-orang bertopeng yang mencurigakan. Tetapi suasana yang kacau oleh orang-orang yang panik menyelamatkan diri akibat ledakan itu tak urung menyedot kosentrasi mereka beberapa detik. Kelengahan yang fatal sebab sebelum mereka menyadari apa yang terjadi empat orang bertopeng itu sudah memberondong mobil limusin dan patrolinya dengan senjata-senjata laras panjang yang tadi tersembunyi di balik overcoat mereka. Kecuali si mata hijau yang membawa Springfield yang berkilat keperakan di dalam genggamannya. Benda yang tadi tersembunyi rapi dibalik pullovernya. Si mata hijau mendekati limusin. Langkahnya tenang, mantap dan pasti. Tatapannya lekat seolah menembus kaca gelap, terus pada seseorang yang pasti sedang duduk gelisah dan mungkin panik menatap dirinya dari dalam limusin hitam itu.
Beberapa langkah sebelum mencapai limusin....
Pintu mobil terbuka sedikit. Moncong-moncong senjata mencuat dari dalamnya. Tenang si mata hijau membidik tanpa mengurangi kecepatan langkahnya. Bahunya terguncang sedikit karena hentakan balik dari ledakan pistol perak besar di tangannya. Bang...Bang ! Kaca jendela mobil remuk berserpihan ke jalanan. Sesosok tubuh dalam setelan gelap merosot dari tempat duduk depan jatuh ke aspal basah. Satu lagi lengan yang meneteskan darah terjulur terkulai dari pintu belakang yang terhempas lebar. Dia tidak membuang satu butir pun pelurunya dengan sia-sia.
Si mata hijau tiba di samping limusin dengan gerakan cepat yang sangat tenang. Sepasang mata pucat si pengemudi yang menatapnya dengan wajah kaku tertangkap pertama kali. Pengemudi yang terlalu kesima bahkan untuk mengedip. Ia mengalihkan pandangan dari si pengemudi yang ketakutan sampai seputih kapas itu, ke tempat duduk belakang dimana si orang penting menatapnya kaku seperti patung batu. Tampaknya sudah mati sebelum mati. Mata dan mulutnya terbuka sama lebar tanpa suara dan cahaya semangat kecuali ketakutan. Itulah wajah sebenarnya dari kematian. Dia tidak terkesan. Dingin, diacungkannya tangannya ke orang penting di dalam mobil yang bahkan tidak sempat berteriak ketika tiga peluru terpompa dari laras pistol itu, tertanam di dadanya. Hampir di tempat yang sama. Pemborosan. Dapat dipastikan si orang penting itu tewas seketika pada tembakan pertama.Tapi dia memerlukannya kali ini. Satu untuk membunuhnya. Dua lagi untuk pesan.
Setelah itu tanpa komando, di tengah kekacauan yang tercipta. Lima orang bertopeng itu menyelinap cepat meninggalkan jalanan depan hotel yang telah berubah menjadi seramai festival Brasil. Seperti datangnya, mereka pergi seperti angin.
Ketika orang-orang mulai tenang dan meneriakkan ‘seseorang telpon ambulans’, sebuah ledakan susulan terdengar memecahkan kaca-kaca jendela hotel. Mereka menjerit dan merundukkan diri lagi. Tidak sedahsyat yang pertama, tetapi guncangan yang menjalar di tanah mencapai cukup jauh hingga ke jalan-jalan yang lebih kecil dimana ia berjalan dengan tenangnya. Sendiri. Entah kemana hilangnya orang-orang bertopeng yang lainnya. Dia sendiri telah melepas topeng dan pullovernya. Melipat rapi dan membawanya dalam dekapan sebelah tangan. Tinggal jeans dan sweater melapisi kemeja tipis yang menunjukkan perawakan kecil si pemuda. Rambutnya halus keemasan tak lagi tertutup kaus hitam bergerak lembut tiap kali ia melangkahkan kakinya.
Wajahnya yang pucat merunduk bagai malu-malu. Kedua bahu agak terangkat. Tangan yang sebelah di saku celana. Pemuda yang menarik. Sangat halus bahkan cenderung cantik dan seakan tidak berdaya.
Matanya mengerjap polos menangkap bayangan seorang pria jangkung yang muncul di balik tembok sebuah rumah di tikungan depannya. Si raksasa kelabu dengan bekas luka sudah menunggunya.
Si pembantai tampan bersosok rapuh bersatu dengan si kelabu. Mereka berjalan melewati orang-orang yang berlarian keluar dari rumah dan toko-toko dan bertanya-tanya diantara mereka sendiri tentang gempa kecil yang terasa barusan.
Dia melenggang tanpa ada yang mencurigainya. Entah karena sosoknya yang ramping kecil lebih mirip pelajar tanpa daya itu. Atau karena sudah terlampau banyak ledakan di negeri itu untuk mengejutkan para buruh yang bergegas takut terlambat kerja. Tidak satupun yang menaruh perhatian padanya dan si kelabu yang terus melangkah menjauh.
Bersambung..
Anne Ahira
Anne Ahira
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment